Open House Yayasan Mutiara Hati ‘Membasuh Luka Pengasuhan untuk Menjadi Orangtua Bahagia’ bersama Kang Ulum A. Saif

Pada hari Sabtu, 8 Februari 2020 ini Yayasan Mutiara Hati punya gawe yaitu acara tahunan Open House/ pembukaan pendaftaran siswa baru. Bertempat di Gedung C7 lantai 3 Fakultas llmu Sosial Unnes, diadakan pula seminar parenting dan bedah buku Membasuh Luka Pengasuhan (MLP) oleh Kang Ulum A. Saif. Beliau merupakan penulis buku Bapak, Saatnya Ayah Mengasuh, dan MLP (ditulis duet dengan sang istri Febrianti Almeera), founder dan pemateri di kelas online ‘Sekolah Rumah Tangga’, ketua Ponpes Saif. A Ulum, dan trainer.

 

Tema yang diusung dalam seminar kali ini adalah ‘Membasuh Luka Pengasuhan untuk Menjadi Orangtua Bahagia’. Tema yang sangat menarik untuk dikaji bersama.

 

Lantas, siapa yang terluka dalam proses pengasuhan? Ada 3 kemungkinan yaitu:

1.      Pasangan yang terluka

2.      Anak yang terluka

3.      Diri sendiri yang terluka

 

Dampak luka pengasuhan itu ada yang positif (berbuah hikmah) dan negatif (emosi menumpuk yang tidak tersalurkan di jalan yang benar). Sedangkan emosi negatif orangtua dalam perjalanannya mengasuh anak, akan ketransfer ke anak hingga anak menjadi rewel, tantrum, dsb.

 

Emosi-emosi negatif yang menumpuk dan belum selesai di masa lalu, akan menimbulkan respon eror. Itulah cara paling mudah mendeteksi apakah kita/ pasangan memiliki luka pengasuhan. Respon eror sendiri bisa dimaknai dengan tindakan yang kita tahu itu tidak boleh dilakukan/ tidak baik / terlarang, namun saat kejadian (akibat stimulus tertentu) tidak bisa mengendalikan diri sehingga yang terjadi malah kita melakukan hal yang ‘tidak boleh’ tadi. Saat kita menghadapi kejadian yang mirip di masa lalu, maka terpanggil-lah memori masa lalu, lalu terulang (merespon dengan cara sama). Sebagai contoh: ada ibu yang tiap kali anak menangis, ia langsung gusar. Dibentaklah anak agar dia diam. Namun yang terjadi si anak malah semakin kencang menangisnya. Tak hilang akal, si ibu menutup mulut si anak dengan bantal. Mengapa itu bisa terjadi? Usut punya usut, ternyata ketika si ibu ini kecil, orangtuanya selalu menyumpal mulut anaknya dengan bantal. Itulah respon eror si ibu, sementara beliau paham bahwa tindakannya tidak baik/tidak bijak/ tidak mendidik dan kasar.

 

Respon eror inilah yang menghalangi orangtua untuk bahagia.

Kang Ulum mengajak kita untuk sama-sama menyepakati definisi ‘bahagia’. Sebab ternyata bahagia memiliki dua sudut pandang:

 

1.      Orientasi hasil, yaitu saat mendapatkan apa-apa yang diinginkan, contohnya ayah ibu bahagia saat anak ranking 1, juara lomba, angkat piala, dsb.

 

2.      Orientasi Proses, yaitu bahagia saat melakukan perintah Allah. Ayah ibu bahagia saat tunai dan amanah tugasnya sebagai orangtua, membekali diri dengan ilmu mengasuh dan mendidik, dsb.

 

Jadi kita sepakati dulu bahwa orangtua bahagia adalah bahagia dengan proses mendidik anak, seberapapun berat tantangan dan ujiannya. Sebab Allah sendiri tidak pernah berorientasi pada hasil tetapi selalu pada proses.

 

Dalam perjalanan pengasuhan, riak-riak konflik dengan anak adalah keniscayaan. Biasanya karena kurang komunikasi yang hangat antara orangtua dan anak. Semacam ada gap/ jarak yang membentang antara orangtua dan anak. Kang Ulum menyampaikan bahwa dalam sebuah penelitian, anak hanya menangkap 7% dari kata-kata yang diucapkan orangtua. Mereka tidak fokus pada isi kata-kata tersebut (apalagi sambil ngomel dengan intonasi yang sangat tidak merdu didengar) sedangkan sisanya (93%) anak fokus pada gesture (bahasa tubuh), ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, dsb. Komunikasi efektif (ngobrol ringan dan santai) akan lebih membuat rileks, tidak menguras emosi dan tenaga, dan hasilnya pun signifikan. Jadi inget saat si kakak dengan polosnya bilang “Kayak umma-nya Nussa itu bicaranya pelan dan lembut”. Lha iya, itu Nussa dan Rara pas dibilangin umma-nya bisa anteng, diam, dan nyimak serius gitu. Lha kalau umi bilanginnya gitu, kamu dan duo adikmu keburu kabur. Hehe. Si Kakak ketawa. Ekspektasi dan realita memang acapkali melenceng jauh. Hihi.

 

Kang Ulum juga menyinggung sedikit tentang fenomena fatherless country (negeri tanpa ayah). Ayah ada, tapi perannya tidak ada. Menurut data dari psikolog ibu Elly Risman, Indonesia adalah urutan ketiga setelah Amerika dan Australia tentang fenomena itu. Ditandai dengan minimnya waktu ngobrol bersama anak (kurang dari 60 menit per bulan). Betapa sedihnya ketika peran ayah tak ubahnya mesin ATM. Berangkat dari kegelisahan tersebut, kang Ulum tergerak untuk menulis buku berjudulSaatnya Ayah Mengasuh (SAM) yang ternyata best-seller dan tak lepas dari pro- kotra juga.

 

Kang Ulum juga memaparkan tentang tahapan mengasuh anak dalam islam yaitu:

 

1.      Tarbiyah (0-6 tahun), merawat fitrah (QS. Al A’raf: 172)—bisa baca postingan saya sebelumnya tentang  Fitrah-based education oleh bapak Harry Santosa.

2.      Takdib (7-9), pendidikan adab. Berdiri di atas tarbiyah yang terawat.

3.      Ta’lim (10-jelang baligh), keilmuan sesuai zamannya.

 

Pada masa baligh (+- 15 tahun) anak sudah mukallaf. Sudah dibebankan tanggung jawab. Dosa dan pahala ditanggung sendiri. Seharusnya sudah mampu menafkahi dirinya sendiri. Apabila orangtua masih menanggung nafkah, maka bukan lagi dihitung sebagai kewajiban, akan tetapi bernilai sedekah.

 

Itulah proses panjang pengasuhan yang ditempuh orangtua. Bila orientasinya adalah ‘proses’, maka penghalangnya adalah emosi. Orangtua bisa terus belajar untuk memanajemen emosi dengan memilih penyaluran yang baik.

 

Selain orangtua, anak juga berpotensi untuk tantrum. Tantrum adalah ledakan emosi yang tidak teralirkan dengan baik karena keterbatasan anak dalam mengenali emosinya. Emosi merupakan titipan Allah selain harta dan ilmu. Ketiga hal tersebut—harta, ilmu, rasa/emosi—tidak baik jika dipendam, maka harus dialirkan. Jika tetap dipendam, akan membusuk dan menuai mudharat. Lantas bagaimana menangani tantrum anak?

 

1.  Biarkan menangis sampai lega

2.  Dipancing untuk mengucapkan apa yang dirasakan dan memicu kekesalan /verbalisasi

 

Baiknya, ketika anak masih batita, kenalkan dengan nama-nama rasa. Paling tidak lima rasa dasar yaitu marah, takut, sedih, jijik, dan bahagia. Kelak jika ia semakin besar, ia bisa mengalirkan emosi dengan lebih mudah.

 

Ada dua pendekatan di buku MLP ini, yaitu:

1.      Emotional healing, menyasar ke otak (depth theraphy)

Pendekatan ini dianalogikan seperti membersihkan bak kamar mandi yang kotor dengan cara membuka tutup bak bagian bawah. Airnya dialirkan sampai habis, lalu dinding-dinding baknya disikat sampai bersih, baru diisi air kembali.

2.      Tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa), menyasar ke hati.

Pendekatan ini dianalogikan serupa wadah yang diatasnya kejatuhan najis (kotoran cicak misalnya). Untuk membersihkannya, harus dialirkan air terus-menerus sampai luber sehingga najis itu hilang.

 

(untuk lebih lengkapnya, silakan baca buku MLP agar pemahaman semakin menyeluruh)

 

Buku MLP ini terinspirasi oleh 4 ayat terakhir qur’an surah al Fajr:

Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.

 

Tiga komponen yang hendak disampaikan dalam ayat tersebut yaitu tenang, ridha, dan hamba. Tenang dalam proses pembasuhan luka, ridha sebagai bagian takdir Allah yang membawa hikmah, sehingga harapannya kita menjadi hamba yang berbahagia dalam segala proses terutama proses pengasuhan anak. Maasyaa Allah. Begitu indah, damai, dan menyentuh hati.

 

Source: Arinda Shafa (Rumah Cahaya, 9 Februari 2020 6.16)